Pendidikan Pesantren di Berbagai Wilayah di Indonesia
Table of Contents
Berikut adalah bahasan tentang pendidikan podok pesantren yang ada di berbagai wilayah di Indonesia, diantaranya:
1. Pondok Pesantren Tegalsari Jetis Ponorogo Jawa Timur
Pondok pesantren ini termasuk salah satu yang paling bersejarah di Indonesia. Pesantren Tegalsari didirikan oleh Kiyai Ageng Hasan Basari pada abad ke-18. Pesantren ini mempunyai ribuan santri yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia.
Di antara sekian banyak santrinya yang terkenal adalah Pakubuwono II yang merupakan penguasa Kerajaan Kartasura, Raden Ngabehi Ronggowarsito (seorang pujangga Jawa yang masyhur), serta tokoh pergerakan nasional H.O.S. Cokroaminoto.
Pesantren ini didirikan oleh K.H. Hamdani pada tahun 1787. Lokasi pesantren terletak di Desa Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Pondok ini memiliki bentuk bangunan yang masih asli dan unik, yakni berdinding anyaman bambu dan diberi jendela pada setiap kamarnya.
Bangunan asrama santri disangga dengan kaki-kaki beton sehingga membuatnya tampak seperti rumah Joglo. Pondok pesantren ini telah banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka. Salah satu yang pernah menjadi santri adalah pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy'ari.
Pesantren ini berdiri pada tahun 1718. Pendirinya bernama Sayyid Sulaiman yang secara silsilah masih bersambung sampai ke Rasulullah Saw. Pada awalnya, Sidogiri adalah area hutan yang belum terjamah manusia di Pasuruan, Jawa Timur.
Sayyid Sulaiman dengan dibantu oleh santri sekaligus menantunya, yaitu Kiai Aminullah, melakukan babat alas selama 40 hari untuk mendirikan pondok pesantren.
Pesantren ini bermula dari sebuah langgar (mushala) kecil yang didirikan oleh Kiai Itsbat Bin Ishaq sekitar tahun 1787. Beliau adalah salah sosok ulama karismatik yang terkenal zuhud, tawadhu, dan arif. Nama Banyuanyar diambil dari bahasa Jawa yang artinya air baru. Hal itu didasarkan pada penemuan sumber mata air (sumur) yang cukup besar oleh Kiai Itsbat.
Sumber mata air tersebut tidak pernah surut sedikit pun. Bahkan, hingga kini mata air tersebut masih dapat difungsikan sebagai air minum bagi santri dan keluarga besar Pondok Pesantren Banyuanyar. Di pondok inilah Kiai Itsbat mengasuh para santrinya dengan penuh istiqamah dan kesabaran. Padahal, sarana dan fasilitas yang ada ketika itu tentunya jauh dari kecukupan atau memadai.
Pondok ini didirikan oleh KH. Abdul Manan pada tahun 1830 setelah menyelesaikan masa belajarnya di Pondok Tegalsari, Ponorogo. Awalnya, pondok ini berada di daerah Semanten, yakni sekitar 2 kilometer arah utara Kota Pacitan.
Pada waktu itu, pondok masih dalam taraf permulaan sehingga santrinya juga belum sebanyak periode sesudahnya. Oleh karena itu, kitab-kitab yang dipelajari waktu itu juga masih dalam tingkatan dasar.
Pesantren ini dirintis pada tahun 1801 oleh K.H. Abdurrahman di atas tanah seluas 3.650 m2. Lokasinya berada di Desa Kutosari, Kelurahan Kebumen, Kecamatan Kebumen. KH. Abdurrahman merupakan mursyid (guru) Thariqah Naqsyabandiyah. Semula, Al Huda adalah nama untuk mushala yang berada di kompleks pondok.
Tatkala meletus Agresi Militer Belanda I, kiai dan para santri serta para pejuang muslim Kebumen berjuang melawan tentara Belanda. Begitu pula agitasi PKI tahun 1960-an kembali membangkitkan suasana perjuangan di kalangan santri dan kiai. Saat itu, Pondok Pesantren Al Huda menjadi ajang pelatihan bagi anggota Banser (Barisan Ansor Serbaguna).
Pesantren ini didirikan oleh Mbah atau Kiyai Muqoyyim. Beliau merupakan putra Kiai Abdul Hadi yang merupakan keturunan bangsawan dari Kesultanan Cirebon. Karena kepintaran dalam menulis buku tentang tauhid, fiqh, dan tasawuf, Kiai Muqoyyim diangkat menjadi Mufti oleh Keraton Kanoman Cirebon.
Akan tetapi, karena ada perbedaan sikap antara dirinya dengan pihak keraton, yakni saat keraton mulai terlihat tunduk terhadap Belanda, akhirnya Kiai Muqoyyim mengundurkan diri meninggalkan Keraton Kanoman. Beliau kemudian mendirikan Pesantren Buntet yang terletak sekitar 12 kilometer dari Keraton Kanoman (Kota Cirebon) pada tahun 1750.
Lokasi pesantren ini berada di Desa Sayurmaincat, Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Usia pesantren telah mencapai hampir satu abad. Pesantren ini juga berjasa dalam mengusir penjajah Belanda dari bumi Sumatra. Pada masa kemerdekaan, pesantren ini dijadikan basis perlawanan rakyat, yakni dijadikan markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pesantren kembali dijadikan sebagai markas TKR. Pada tahun 1949, pesantren ini kembali dibuka sebagai lembaga pendidikan (sekolah) oleh H. Fahruddin Arjun Lubis.
Pondok pesantren ini berlokasi di kawasan Pasayangan, Martapura, Banjar, Kalimantan Selatan. Pesantren ini didirikan pada tahun 1914 oleh KH. Jamaluddin. Pondok pesantren ini merupakan yang tertua di Kalimantan dan telah melahirkan banyak ulama terkemuka. Bahkan, hampir seluruh silsilah murid-guru di Kalimantan Selatan bermuara di pesantren ini.
Pesantren Darussalam memiliki peran penting bagi sejarah perkembangan Islam di Kalimantan Selatan. Pesantren ini dijadikan acuan bagi perkembangan pesantren-pesantren lain yang kemudian berdiri di provinsi tersebut.
Keputusan KH. Jamaluddin untuk mendirikan pesantren dilandasi semangat dalam rangka pengembangan agama Islam di wilayah Kalimantan Selatan. Selain itu, daerah ini dikenal memiliki tradisi keagamaan yang sangat kuat. Bahkan, sejumlah ulama Indonesia terkemuka berasal dari Kalimantan Selatan. Setelah KH. Jamaluddin meninggal dunia, pimpinan pesantren digantikan oleh KH. Hasan Ahmad.
Pondok Pesantren As’adiyah adalah sebuah lembaga pendidikan Islam swasta yang bergerak di bidang pendidikan dan da’wah Islam. Mulai dirintis pada tahun 1928 M., Lembaga ini menjadi pesantren tertua di Sulawesi Selatan.
Pada mulanya, Lembaga ini bernama Madrasatul Arrabitatul Islamiyah (MAI) yang dirintis oleh Syekh Muhammad As’ad yang dikenal pula dengan panggilan Anregurutta Pungngaji Sade atau Gurutta Aji Sade. Penamaan pesantren As’adiyah juga diambil dari pendirinya (KH. As’ad) yang merupakan seorang berdarah Bugis Wajo.