3 Faktor Dianggap Menjadi Penyebab Mundurnya Sistem Pendidikan
Table of Contents
Mendapatkan pendidikan yang berkualitas adalah impian dari seluruh warga masyarakat di suatu negara, kenapa bisa begitu! karena dengan mengenyam pendidikan yang baik dan berkualitas selalu memunculkan asa dan harapan untuk kehidupan dimasa depan. Semua beranggapan bahwa secara teorinya melalui pendidikan yang baik akan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Belajar merupakan kewajiban setiap jiwa, maka semua orang berlomba-lomba agar mendapatkan pembelajaran yang baik guna merubah cara hidup agar lebih baik. Namun untuk mendapatkannya diperlukan proses panjang, melelahkan dan kesabaran.
Untuk menciptakan generasi unggul kadang setiap lembaga institusi pendidikan berbeda-beda dalam perlakuan. Semua sistem dan strategi diterapkan guna mendukung kestabilan dalam proses pembelajaran agar dapat meraih tujuan yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan untuk menciptakan manusia yang berguna baik bagi bangsa maupun agamanya.
Dalam perjalanan waktunya, ada beberapa hal yang dirasa cukup menghambat bahkan menjadi penyebab mundurnya sistem pendidikan pada keberlangsungan proses kegiatan pembelajaran di sekolah, diantaranya:
1. Adanya Program Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis adalah konsep yang banyak dibicarakan dan diterapkan di berbagai negara, namun apakah itu mungkin atau tidak tergantung pada beberapa faktor, seperti sistem ekonomi, politik, dan prioritas pemerintah.Secara teori, pendidikan gratis sangat mungkin. Banyak negara telah menerapkan pendidikan gratis untuk sekolah dasar dan menengah. Di beberapa negara maju, pendidikan tinggi (seperti universitas) juga disubsidi atau bahkan diberikan secara gratis kepada warganya.
Negara-negara seperti Finlandia, Jerman, dan beberapa negara Skandinavia memiliki sistem pendidikan yang sangat mendekati model ini. Namun, untuk mewujudkan pendidikan gratis yang berkualitas, ada beberapa tantangan besar, diantaranya:
Banyak orang beranggapan bahwa pendidikan yang diberikan secara gratis mungkin kurang berkualitas dibandingkan dengan pendidikan yang berbayar. Ini sering disebabkan oleh pandangan bahwa jika tidak ada biaya yang dikeluarkan, maka sumber daya yang tersedia untuk pengajaran (seperti fasilitas, tenaga pengajar, atau materi ajar) mungkin terbatas atau tidak maksimal. Masyarakat mungkin merasa bahwa pendidikan gratis hanya untuk orang yang kurang mampu dan kurang memiliki standar yang tinggi.
2. Terlalu Bergantung pada Bantuan Pemerintah
Beberapa orang berpendapat bahwa pendidikan gratis dapat menyebabkan ketergantungan pada bantuan pemerintah dan mengurangi kualitas inovasi atau inisiatif lokal. Ada anggapan bahwa jika pendidikan disediakan secara gratis, pemerintah mungkin menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kualitasnya, dan ini bisa menambah beban bagi negara.
3. Pengurangan Motivasi dan Keseriusan
Ada pandangan bahwa siswa yang menerima pendidikan secara gratis mungkin tidak memiliki motivasi atau rasa tanggung jawab yang tinggi, karena mereka tidak membayar untuk pendidikan tersebut. Beberapa orang beranggapan bahwa jika seseorang tidak membayar, mereka akan kurang menghargai pendidikan dan kurang serius dalam menjalani proses pembelajaran.
4. Tidak Merata dalam Pelaksanaannya
Dalam praktiknya, pendidikan gratis bisa dianggap tidak merata dalam hal kualitas dan akses. Misalnya, ada anggapan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu yang bisa menyediakan pendidikan gratis dengan standar yang baik, sementara yang lainnya mungkin mengalami kekurangan dana dan fasilitas. Stigma ini bisa memperkuat pandangan bahwa pendidikan gratis tidak akan menyentuh seluruh lapisan masyarakat dengan adil.
5. Stigma Sosial terhadap Peserta Didik
Di beberapa tempat, ada stigma sosial yang menganggap siswa yang bersekolah di lembaga pendidikan gratis atau sekolah negeri lebih rendah status sosialnya dibandingkan mereka yang bersekolah di sekolah swasta berbayar. Hal ini bisa menyebabkan perasaan inferior pada siswa yang bersekolah di lembaga pendidikan gratis, yang bisa memengaruhi kepercayaan diri mereka.
6. Keterbatasan Pilihan Pendidikan
Masyarakat mungkin juga menganggap bahwa dengan adanya pendidikan gratis, pilihan untuk pendidikan menjadi terbatas, terutama jika hanya beberapa jenis sekolah atau kurikulum tertentu yang disediakan secara gratis. Ini bisa menyebabkan anggapan bahwa pendidikan yang lebih berkualitas hanya tersedia di lembaga yang membutuhkan biaya.
Namun, ada beberapa situasi yang kadang-kadang bisa disalahpahami, di mana Komnas HAM dianggap menghambat proses pendidikan, padahal sebenarnya peranannya adalah untuk memastikan bahwa sistem pendidikan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
- Pendidikan membutuhkan dana yang tidak sedikit, baik untuk fasilitas, tenaga pengajar, maupun infrastruktur lainnya. Oleh karena itu, sistem pajak yang baik dan alokasi anggaran yang tepat dari pemerintah sangat diperlukan.
- Menyediakan pendidikan gratis yang berkualitas tinggi memerlukan investasi yang berkelanjutan dalam pelatihan guru, kurikulum yang relevan, dan teknologi pendidikan.
- Beberapa negara mungkin lebih fokus pada sektor lain, seperti infrastruktur atau pertahanan, yang memengaruhi alokasi anggaran untuk pendidikan.
- Negara dengan ekonomi yang lebih kuat mungkin lebih mudah untuk menyediakan pendidikan gratis, sedangkan negara dengan ekonomi yang lebih lemah mungkin menghadapi kesulitan dalam hal ini.
Stigma Pendidikan Gratis
Stigma terhadap pendidikan gratis sering kali muncul karena persepsi atau pandangan negatif yang berkembang dalam masyarakat mengenai kualitas atau manfaat dari pendidikan yang diberikan tanpa biaya. Beberapa stigma yang sering dikaitkan dengan pendidikan gratis meliputi:
1. Kualitas Pendidikan yang Rendah
1. Kualitas Pendidikan yang Rendah
Banyak orang beranggapan bahwa pendidikan yang diberikan secara gratis mungkin kurang berkualitas dibandingkan dengan pendidikan yang berbayar. Ini sering disebabkan oleh pandangan bahwa jika tidak ada biaya yang dikeluarkan, maka sumber daya yang tersedia untuk pengajaran (seperti fasilitas, tenaga pengajar, atau materi ajar) mungkin terbatas atau tidak maksimal. Masyarakat mungkin merasa bahwa pendidikan gratis hanya untuk orang yang kurang mampu dan kurang memiliki standar yang tinggi.
2. Terlalu Bergantung pada Bantuan Pemerintah
Beberapa orang berpendapat bahwa pendidikan gratis dapat menyebabkan ketergantungan pada bantuan pemerintah dan mengurangi kualitas inovasi atau inisiatif lokal. Ada anggapan bahwa jika pendidikan disediakan secara gratis, pemerintah mungkin menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kualitasnya, dan ini bisa menambah beban bagi negara.
3. Pengurangan Motivasi dan Keseriusan
Ada pandangan bahwa siswa yang menerima pendidikan secara gratis mungkin tidak memiliki motivasi atau rasa tanggung jawab yang tinggi, karena mereka tidak membayar untuk pendidikan tersebut. Beberapa orang beranggapan bahwa jika seseorang tidak membayar, mereka akan kurang menghargai pendidikan dan kurang serius dalam menjalani proses pembelajaran.
4. Tidak Merata dalam Pelaksanaannya
Dalam praktiknya, pendidikan gratis bisa dianggap tidak merata dalam hal kualitas dan akses. Misalnya, ada anggapan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu yang bisa menyediakan pendidikan gratis dengan standar yang baik, sementara yang lainnya mungkin mengalami kekurangan dana dan fasilitas. Stigma ini bisa memperkuat pandangan bahwa pendidikan gratis tidak akan menyentuh seluruh lapisan masyarakat dengan adil.
5. Stigma Sosial terhadap Peserta Didik
Di beberapa tempat, ada stigma sosial yang menganggap siswa yang bersekolah di lembaga pendidikan gratis atau sekolah negeri lebih rendah status sosialnya dibandingkan mereka yang bersekolah di sekolah swasta berbayar. Hal ini bisa menyebabkan perasaan inferior pada siswa yang bersekolah di lembaga pendidikan gratis, yang bisa memengaruhi kepercayaan diri mereka.
6. Keterbatasan Pilihan Pendidikan
Masyarakat mungkin juga menganggap bahwa dengan adanya pendidikan gratis, pilihan untuk pendidikan menjadi terbatas, terutama jika hanya beberapa jenis sekolah atau kurikulum tertentu yang disediakan secara gratis. Ini bisa menyebabkan anggapan bahwa pendidikan yang lebih berkualitas hanya tersedia di lembaga yang membutuhkan biaya.
2. Berdirinya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah lembaga yang bertugas untuk melindungi, mengamankan, dan memajukan hak asasi manusia di Indonesia. Tugas utama Komnas HAM adalah memastikan bahwa hak-hak setiap warga negara, termasuk hak atas pendidikan, dihormati dan dilindungi oleh negara.Namun, ada beberapa situasi yang kadang-kadang bisa disalahpahami, di mana Komnas HAM dianggap menghambat proses pendidikan, padahal sebenarnya peranannya adalah untuk memastikan bahwa sistem pendidikan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Misalnya, jika ada kebijakan pendidikan yang dianggap melanggar hak-hak tertentu seperti diskriminasi, kebijakan yang tidak inklusif, atau penghilangan hak-hak minoritas, Komnas HAM mungkin akan berperan untuk menyarankan atau memberikan rekomendasi agar kebijakan tersebut diperbaiki. Beberapa alasan mengapa Komnas HAM mungkin terlihat seperti menghambat dalam beberapa kasus, antara lain:
1. Kebijakan Pendidikan yang Tidak Inklusif
1. Kebijakan Pendidikan yang Tidak Inklusif
Komnas HAM mungkin menilai bahwa kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah atau lembaga pendidikan tertentu melanggar hak-hak kelompok tertentu, seperti diskriminasi terhadap anak-anak dari keluarga miskin, anak-anak dengan disabilitas, atau kelompok minoritas. Dalam hal ini, Komnas HAM akan mengadvokasi agar kebijakan tersebut diperbaiki untuk menjamin akses yang setara bagi semua anak.
2. Kebebasan Berpendapat dan Beragama
2. Kebebasan Berpendapat dan Beragama
Komnas HAM mungkin mengawasi kebijakan pendidikan yang membatasi kebebasan berpendapat atau beragama. Sebagai contoh, jika ada aturan di sekolah yang membatasi kebebasan siswa untuk mengekspresikan keyakinan atau pandangan mereka, Komnas HAM bisa menganggap itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
3. Perlindungan terhadap Anak
3. Perlindungan terhadap Anak
Dalam konteks perlindungan anak, jika ada kebijakan atau praktik di sekolah yang dianggap membahayakan atau merugikan anak-anak, seperti kekerasan fisik atau mental, Komnas HAM dapat berperan untuk memastikan kebijakan tersebut dihentikan atau diperbaiki.
Namun, secara keseluruhan, peran Komnas HAM adalah untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia dilaksanakan dengan menghormati hak asasi manusia dan mendukung pembangunan manusia yang adil dan beradab. Jadi, jika Komnas HAM "menghambat" suatu kebijakan, itu lebih merupakan usaha untuk melindungi hak-hak individu dan memastikan keadilan bagi semua orang dalam sistem pendidikan.
Ada beberapa alasan mengapa gonta-ganti kurikulum bisa dianggap sebagai penghambat perkembangan pendidikan:
1. Kebingungan dan Ketidakpastian
Setiap kali ada perubahan kurikulum, baik bagi guru, siswa, maupun orang tua, sering kali muncul kebingungan. Para guru harus kembali menyesuaikan metode pengajaran mereka dengan kurikulum yang baru, sementara siswa bisa merasa bingung dengan materi yang disajikan secara berbeda dari sebelumnya. Ketidakpastian ini dapat mengganggu proses belajar-mengajar dan menghambat pencapaian tujuan pendidikan.
2. Kurangnya Waktu untuk Implementasi
Perubahan kurikulum sering kali membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa diimplementasikan dengan efektif di seluruh sekolah di Indonesia. Guru-guru harus mengikuti pelatihan dan mempersiapkan diri untuk materi yang baru, yang bisa mengganggu proses pendidikan yang sedang berjalan. Jika kurikulum terlalu sering diubah, sekolah tidak memiliki cukup waktu untuk sepenuhnya menjalankan kurikulum yang baru tersebut.
3. Kekurangan Evaluasi dan Refleksi
Sering kali, perubahan kurikulum dilakukan tanpa evaluasi menyeluruh terhadap hasil dari kurikulum yang sebelumnya. Jika perubahan tidak didasarkan pada analisis yang mendalam dan perbaikan yang konkret, perubahan tersebut mungkin tidak menghasilkan perbaikan yang signifikan dan justru bisa mengganggu proses pendidikan yang sudah berjalan.
4. Investasi yang Terbuang
Pendidikan membutuhkan banyak sumber daya, mulai dari pelatihan guru hingga pengadaan materi ajar yang sesuai dengan kurikulum. Jika kurikulum sering berubah, sebagian dari sumber daya yang telah diinvestasikan untuk mendukung kurikulum yang sebelumnya bisa terbuang begitu saja. Hal ini dapat menjadi pemborosan, terutama jika perubahan kurikulum tidak didasarkan pada kebutuhan mendasar.
5. Gangguan pada Perkembangan Siswa
Siswa yang sudah beradaptasi dengan kurikulum tertentu bisa merasa terhambat ketika kurikulum berubah. Mereka mungkin merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan metode atau pendekatan yang berbeda, yang bisa mengganggu perkembangan akademik mereka.
Namun, ada juga pandangan bahwa perubahan kurikulum yang terus-menerus adalah bagian dari upaya untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Di dunia yang serba cepat ini, kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan memperbarui kurikulum agar lebih relevan sangat penting.
Contoh positif dari perubahan kurikulum adalah upaya untuk memperkenalkan teknologi, keterampilan abad 21 (seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan berpikir kritis), serta penekanan pada pendidikan karakter, yang bertujuan menciptakan siswa yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki nilai-nilai moral yang baik.
Kesimpulannya, gonta-ganti kurikulum memang bisa menghambat perkembangan pendidikan jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang bisa memengaruhi kelancaran implementasinya. Namun, jika perubahan dilakukan dengan tujuan yang jelas dan didukung oleh evaluasi yang baik, perubahan tersebut juga bisa menjadi langkah penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun, secara keseluruhan, peran Komnas HAM adalah untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia dilaksanakan dengan menghormati hak asasi manusia dan mendukung pembangunan manusia yang adil dan beradab. Jadi, jika Komnas HAM "menghambat" suatu kebijakan, itu lebih merupakan usaha untuk melindungi hak-hak individu dan memastikan keadilan bagi semua orang dalam sistem pendidikan.
3. Sering Gonta-ganti Kurikulum Pendidikan
Gonta-ganti kurikulum memang sering kali menjadi perdebatan dalam dunia pendidikan. Beberapa orang berpendapat bahwa perubahan kurikulum yang terlalu sering bisa menghambat perkembangan pendidikan, sementara yang lain melihatnya sebagai upaya untuk memperbaiki dan menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebutuhan zaman.Ada beberapa alasan mengapa gonta-ganti kurikulum bisa dianggap sebagai penghambat perkembangan pendidikan:
1. Kebingungan dan Ketidakpastian
Setiap kali ada perubahan kurikulum, baik bagi guru, siswa, maupun orang tua, sering kali muncul kebingungan. Para guru harus kembali menyesuaikan metode pengajaran mereka dengan kurikulum yang baru, sementara siswa bisa merasa bingung dengan materi yang disajikan secara berbeda dari sebelumnya. Ketidakpastian ini dapat mengganggu proses belajar-mengajar dan menghambat pencapaian tujuan pendidikan.
2. Kurangnya Waktu untuk Implementasi
Perubahan kurikulum sering kali membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa diimplementasikan dengan efektif di seluruh sekolah di Indonesia. Guru-guru harus mengikuti pelatihan dan mempersiapkan diri untuk materi yang baru, yang bisa mengganggu proses pendidikan yang sedang berjalan. Jika kurikulum terlalu sering diubah, sekolah tidak memiliki cukup waktu untuk sepenuhnya menjalankan kurikulum yang baru tersebut.
3. Kekurangan Evaluasi dan Refleksi
Sering kali, perubahan kurikulum dilakukan tanpa evaluasi menyeluruh terhadap hasil dari kurikulum yang sebelumnya. Jika perubahan tidak didasarkan pada analisis yang mendalam dan perbaikan yang konkret, perubahan tersebut mungkin tidak menghasilkan perbaikan yang signifikan dan justru bisa mengganggu proses pendidikan yang sudah berjalan.
4. Investasi yang Terbuang
Pendidikan membutuhkan banyak sumber daya, mulai dari pelatihan guru hingga pengadaan materi ajar yang sesuai dengan kurikulum. Jika kurikulum sering berubah, sebagian dari sumber daya yang telah diinvestasikan untuk mendukung kurikulum yang sebelumnya bisa terbuang begitu saja. Hal ini dapat menjadi pemborosan, terutama jika perubahan kurikulum tidak didasarkan pada kebutuhan mendasar.
5. Gangguan pada Perkembangan Siswa
Siswa yang sudah beradaptasi dengan kurikulum tertentu bisa merasa terhambat ketika kurikulum berubah. Mereka mungkin merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan metode atau pendekatan yang berbeda, yang bisa mengganggu perkembangan akademik mereka.
Namun, ada juga pandangan bahwa perubahan kurikulum yang terus-menerus adalah bagian dari upaya untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Di dunia yang serba cepat ini, kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan memperbarui kurikulum agar lebih relevan sangat penting.
Contoh positif dari perubahan kurikulum adalah upaya untuk memperkenalkan teknologi, keterampilan abad 21 (seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan berpikir kritis), serta penekanan pada pendidikan karakter, yang bertujuan menciptakan siswa yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki nilai-nilai moral yang baik.
Kesimpulannya, gonta-ganti kurikulum memang bisa menghambat perkembangan pendidikan jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang bisa memengaruhi kelancaran implementasinya. Namun, jika perubahan dilakukan dengan tujuan yang jelas dan didukung oleh evaluasi yang baik, perubahan tersebut juga bisa menjadi langkah penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Menciptakan generasi unggul tetap memerlukan biaya, kedisiplinan dan sistem yang baik yang dapat dipahami oleh seluruh praktisi pendidikan baik di pusat maupun di daerah-daerah untuk menciptakan pemerataan dalam sistem dan kebijakan dalam mengelola pendidikan.