Ketika Kemiskinan Bertopeng Kesombongan: Mengurai Akar Psikologis dan Sosial
Dalam narasi sosial, seringkali gambaran orang miskin dilukiskan dengan wajah pasrah, rendah hati, atau penuh penderitaan. Namun, realitas kerap menunjukkan fenomena yang lebih kompleks: tidak sedikit individu dari latar belakang ekonomi terbatas yang justru menampilkan sikap arogan, angkuh, atau merasa paling benar.
Kontradiksi ini kerap membingungkan dan memicu penilaian negatif sepihak. Sebenarnya, apa yang mendorong seseorang yang secara ekonomi lemah bersikap seolah-olah memiliki keunggulan yang tidak dimiliki?
1. Mekanisme Pertahanan Psikologis: Tameng dari Rasa Rendah Diri
1. Mekanisme Pertahanan Psikologis: Tameng dari Rasa Rendah Diri
Manusia memiliki mekanisme pertahanan psikis untuk melindungi diri dari rasa sakit emosional. Bagi mereka yang tumbuh dalam kemiskinan, tekanan sosial berupa stigma, penghinaan, atau perasaan tidak berharga dapat melukai harga diri secara mendalam. Kesombongan dalam hal ini adalah bentuk “overkompensasi” sebuah upaya untuk menutupi rasa inferior dengan menciptakan citra superior di bidang lain.
Contohnya, seseorang yang tidak mampu secara materi mungkin akan dengan keras menyombongkan kekuatan fisik, kelihaian bertarung, atau klaim kesalehan agama sebagai modal pengganti. Ini adalah strategi bawah sadar untuk berkata, “Aku mungkin miskin, tapi aku lebih kuat/mulia darimu.” Psikolog Alfred Adler menyebut ini sebagai “compensation for inferiority”, yang jika berlebihan justru menjadi “superiority complex”.
2. Superioritas Moral: Senjata Kaum yang Terpinggirkan
Di banyak tradisi agama dan budaya, kemiskinan sering diromantisasi sebagai jalan kesucian. Narasi seperti “orang miskin lebih dekat dengan Tuhan” atau “orang kaya adalah kaum yang serakah” dapat terinternalisasi kuat. Ketika narasi ini dipegang, orang miskin bisa mengembangkan kesombongan moral merasa dirinya lebih mulia, lebih jujur, dan lebih bermoral dibandingkan orang kaya yang dianggap korup secara material dan spiritual.
Ini menjadi senjata simbolik untuk membalikkan hierarki sosial: “Kalian punya uang, tapi kami punya kebenaran.” Sayangnya, klaim moral ini sering berubah menjadi arogansi dan intoleransi, di mana setiap perbedaan dianggap penyimpangan.
3. Frustrasi Sosial yang Berubah Menjadi Arogansi
Kemiskinan seringkali beriringan dengan perasaan tidak berdaya, ketidakmampuan mengubah nasib, dan kemarahan terhadap sistem yang tidak adil. Frustrasi yang tertahan ini bisa tersalurkan menjadi sikap permusuhan dan kesombongan terhadap orang lain, bahkan terhadap sesama miskin yang dianggap “lemah”.
Sikap arogan menjadi cara untuk menegaskan eksistensi: “Setidaknya, aku bukan orang yang mudah ditindas.” Di lingkungan marjinal, budaya “toughness” (kekuatan) sering dibanggakan, sementara kerendahan hati dianggap kelemahan.
4. Lingkungan Terbatas dan Ilusi “Ikan Besar dalam Kolam Kecil”
Keterbatasan akses terhadap pendidikan, pergaulan luas, dan informasi dapat menyempitkan pandangan dunia seseorang. Dalam lingkup sosial yang terbatas, seseorang mungkin menjadi yang paling pintar, paling berani, atau paling berpengaruh di komunitasnya. Kondisi ini menciptakan ilusi kompetensi yang berlebihan (efek Dunning-Kruger), di mana ia merasa lebih hebat dari yang sebenarnya, karena tidak pernah diuji dalam arena yang lebih luas.
Kesombongan tumbuh karena ketidaktahuan akan betapa luasnya dunia di luar lingkungannya. Dalam konteks ini, kesombongan adalah produk dari isolasi sosial dan intelektual.
5. Agama dan Ideologi sebagai Pembenaran
Tafsir agama atau ideologi yang sempit seringkali dimanfaatkan untuk membangun identitas superior. Kelompok miskin tertentu mungkin mengadopsi paham “kamilah yang paling benar” berdasarkan penafsiran literal atas doktrin agama. Kesombongan lalu dibalut dengan jargon-jargon keagamaan, sehingga kritik dari luar dianggap sebagai “godaan” atau “serangan terhadap kebenaran”.
Ini berbahaya karena kesombongan tidak lagi dilihat sebagai dosa, tapi sebagai bentuk kesetiaan pada iman. Agama, yang seharusnya mengajarkan kerendahan hati, justru jadi alat legitimasi untuk arogansi.
6. Trauma dan Kebutuhan akan Pengakuan
Banyak orang miskin tumbuh dengan pengalaman traumatis: diejek, diabaikan, atau tidak dianggap oleh masyarakat. Kesombongan bisa jadi adalah cara untuk menuntut pengakuan yang tidak pernah mereka dapatkan. Dengan bersikap superior, mereka berharap untuk dilihat, didengar, dan dihormati sesuatu yang mungkin selalu mereka dambakan sejak kecil.
Sayangnya, cara ini seringkali kontraproduktif: alih-alih mendapat simpati, mereka justru dijauhi. Namun, bagi mereka, perhatian negatif lebih baik daripada tidak dianggap sama sekali.
7. Budaya Komunitas dan Normalisasi Arogansi
Dalam beberapa subkultur marjinal seperti geng, kelompok preman, atau komunitas yang sangat tertutup kesombongan dan sikap “galak” adalah norma yang dihargai. Status didapatkan bukan dari kekayaan, tapi dari kemampuan menakuti atau mendominasi orang lain. Dalam lingkungan seperti ini, bersikap rendah hati justru berisiko menjadi korban. Kesombongan adalah mekanisme survival untuk bertahan di dalam kelompok.
Dampak dan Solusi: Melampaui Penghakiman
Kesombongan dari kalangan miskin seringkali memicu reaksi negatif dari masyarakat luas. Namun, penting untuk melihatnya bukan sekadar sifat buruk individu, melainkan gejala dari masalah struktural dan psikologis yang lebih dalam.
Dampaknya dapat merusak hubungan sosial, memperdalam isolasi, menghambat kerja sama untuk perubahan, dan bahkan menciptakan siklus kekerasan dalam komunitas.
Solusi yang mungkin:
- Pendidikan yang Memanusiakan: Bukan sekadar pendidikan formal, tetapi pendidikan yang membuka wawasan, mengajarkan empati, dan membantu individu mengenali nilai diri tanpa perlu merendahkan orang lain.
- Pemberdayaan Ekonomi yang Inklusif: Membuka akses pada sumber daya ekonomi dapat mengurangi rasa tidak berdaya yang jadi akar kesombongan defensif.
- Pendekatan Psikososial: Konseling atau pendampingan untuk membantu memproses trauma, membangun harga diri yang sehat, dan mengelola emosi.
- Ruang Dialog Antar-kelas Sosial: Memutus segregasi sosial dapat mengurangi prasangka dan membantu semua pihak melihat kompleksitas manusia di balik label “miskin” atau “kaya”.
Kesombongan orang miskin, pada dasarnya, adalah teriakan hati yang terluka upaya untuk meraih martabat ketika jalan menuju pengakuan sosial terasa tertutup. Memahami ini bukan berarti membenarkannya, tetapi mengajak kita melihat melampaui sikap permukaan, menuju akar masalah yang perlu diatasi bersama: ketidakadilan, stigmatisasi, dan deprivasi psikologis.
Pada akhirnya, transformasi yang dibutuhkan bukan sekadar perubahan sikap individu, tetapi penciptaan masyarakat di mana setiap orang kaya atau miskin dapat merasa berharga tanpa perlu membangun menara kesombongan sebagai pelindung. Sebab, martabat sejati tidak lahir dari merasa lebih tinggi dari orang lain, tetapi dari pengakuan bahwa setiap manusia memiliki nilai yang setara, terlepas dari kondisi ekonominya.
